“Benarkah, hanya ada satu suku Rejang?”. Memang suatu pertanyaan yang
sangat menggelitik bagi setiap orang yang mendengarkannya, terutama
mereka yang memang berasal dari Suku Rejang. Bagi penulis, “Suku Rejang
itu hanya satu”. Mereka semua berasal dari satu rumpun, yang selanjutnya
berkembang dan menyebar keseluruh pelosok di Provinsi Bengkulu ini.
Penulis sedikitpun tidak merasa ragu mengemukakan pendapat tersebut,
meskipun kata Rejang, bukanlah monopoli suku Rejang (baca:Bengkulu),
karena di Indonesia ini masih ada beberapa tempat yang menggunakan nama
Rejang, sungai Rejang, dan juga tarian Rejang. Bahkan orangpun ada yang
bernama Pak Rejang, ternyata bukan berasal dari Bengkulu, dia berasal
dari Kalimantan.
Hampir-hampir saja penulis terkecoh, semula penulis taksak pastilah
dia berasal dari Provinsi Bengkulu. Namun setelah berbincang-bincang Pak
Rejang ini mengatakan, nama itu merupakan famnya (Suku atau asal nenek
moyangnya). Kami tak lama berbincang-bincang, dan selanjutnya berpisah
setelah pesat landing Bandara Sukarno-Hatta Jakarta, menuruskan
perjalanan masing-masing.
Flash back (Kilas Balik) sejarah negeri Bengkulu memang menarik untuk
dikaji kembali (kajiulang), karena kemajuan teknologi telah membuka
peluang bagi kita untuk dapat berfikir, mengkaji, meneliti dan menelaah
kebenaran dari suatu sejarah. Kita sudah tidak dapat lagi menyembunyikan
kebohongan-kebohongan sejarah anak negeri. Jika dibawah tahun 1960
mungkin orang dapat saja mengaku-ngaku bahwa dirinya adalah keturunan
darah biru, dari raja Si Anu. Tetapi sekarang akan terungkap semua
kebohongan itu, atau mungkin juga itu adalah merupakan suatu kebenaran.
Disinilah letaknya perbedaan, kalau kita berbicara secara ilmiah
dengan kita berbicara secara politik atau politis. Berbicara secara
ilmiah adalah untuk menemukan sutu kebenaran, sedangkan berbicara secara
politik atau politis hanya ada satu jawaban, yaitu menang atau kalah.
Tentunya untuk menemukan suatu kebenaran sejarah pada masa sekarang ini,
hanya ada satu jalan yaitu “Ilmiah”, diperkuat dengan berbagai fakta
dan argumentasi, dan dibahas secara analis dalam berbagai aspek. Dengan
demikian objektivitas history akan dapat ditemukan secara konstruktif,
bukan story yang berkembang dan menjadi polemik.
Berdasarkan berbagai teori sosiologi – antropologi – arkeologi telah
mengajarkan kepada kita bahwa “Peradaban manusia itu selalu berawal dari
kehidupan sekelompok manusia dipesisir pantai atau sungai, dan
selanjutnya berkembangan menjadi komunitas masyarakat yang semula
homogen dan selanjutnya berubah menjadi heterogen” dalam suatu
masyarakat pergaulan yang lebih besar berbentuk bangsa (Nasional) dan
selanjutnya berkembang menjadi antara bangsa-bangsa (Internasional).
Dunia Baru.
Kedatangan bangsa-bangsa asing ini juga tidak terlepas dari berbagai
kepentingan-kepentingan. Secara geologi dan geografis negeri-negeri di
Nusantara ini telah dikunjungi oleh bangsa-bangsa asing antara lain
secara umum dengan tiga bentuk alasan sebagai berikut :
1. Mencari tambang emas.
2. Perpindahan penduduk (Exsodus) akibat bencana alam, baik vulkanis
maupun tektonis, akibat terjangkitnya wabah penyakit, dan perang.
3. Meningkatnya hubungan perdagangan.
Perjalanan panjang sejarah negeri maritim nusantara ini menunjukkan
bahwa ada dua negeri yang pernah dikunjungi bangsa India dan Cina pada
eksodus pertama pada tahun 225-216 sM atau 147-138 Caka). Pendatang
asing ini umumnya telah memiliki berbagai tingkat keterampilan dibidang
kelautan, pertukangan, pertanian, serta memiliki seni budaya yang jauh
lebih tinggi dari penduduk pribumi. Negeri yang pertama dikunjunginya
adalah Lu-Shingshe di Provinsi Bengkulu dan Phalimbham di Provinsi
Banten, dan dua negeri ini sama-sama banyak menghasilkan emas (Pertama
kali) yang ditemukan oleh bangsa pendatang di nusantara.
Bahkan jauh sebelum itu, dalam kitab Taurat (600 sM) mengisahkan
bahwa Nabi Sulaiman as pernah memerintahkan pelaut Phoenisia berlayar
keseluruh penjuru alam mencari ophir (Mencari emas). Kisah pencarian
emas ini juga tertuang dalam kitab Hindhu di Hindhustan, pada buku
Ramayana berbahasa sanskerta yang ditemukan pada tahun 72 Masehi atau
106 tahun setelah kelahiran Nabi Isa as.
Fakta Sejarah.
Fakta sejarah menunjukkan bahwa bangsa China telah datang kenegeri
ini (Bengkulu) sejak tahun 225-216 sebelum Masehi (sM) atau 147–138
Caka) berasal dari negeri Hyunan (China daratan), dan menggunakan bahasa
Mon. Bahasa inilah yang menyebar keberbagai negeri di Thailand, Birma,
Kamboya dan sebagian Korea. Mereka ini pulalah yang pertama kali
mendirikan negeri bernama Lu-Shiangshe yang berarti sungai kejayaan atau
sungai yang memberi kehidupan / harapan atau sungai emas. Sedangkan
penduduknya, mereka menyebut diri dengan sebutan Rha-hyang atau Ra-Hyang
atau Re-Hyang atau Re-jang. Sebuah negeri yang terletak dipesisir barat
Pulau Sumatera.
Sebelum pendatang ini tiba (225-216 sM atau 147-138 Caka) di Bengkulu
(Wilayah Bengkulu Utara), memang telah ada penduduk Re-jang yang
menghuni di sekitar daerah Lais, Bintunan dan Ketahun. Sedangkan
pendatang baru, nampaknya merupakan generasi penerus dari penambang yang
tiba lebih awal pada abad ke-III sebelum Masehi (sM).
Suatu hal yang menarik adalah ditemukannya mata uang China
(Numismatic) yang bertuliskan Chien Ma berangka tahun 421 Masehi di
Bengkulu Utara (Pulau Enggano). Mata uang yang sama juga ditemukan di
Criviyaya atau Criwiyaya (Baca: Palembang) dan di Tarumanagara (Baca :
Jakarta). Dari kata CHIEN MA inilah muncul kata Cha-Chien (Caci = uang
dalam bahasa Rejang), Mo-Chien (Monce = uang dalam bahasa Bengkulu
kota), Tha-Chien (Tanci = uang dalam bahasa Manna). Seorang bhiksu China
bernama Fa-Hien atau Pa-Shien tiba di Nusantara pada tahun 414 Masehi
dalam rangka kunjungannya ke negeri seribu pagoda India, dia singgah di-
Criviyaya (Sriwiyaya) Palembang dan Tarumanagara (Jakarta).
Fa-Hien ini juga menceritakan tentang adanya pulau khayal, karena dia
pernah transit (singah) di Pulau Enggano (Bengkulu Utara), Maladewa
(Srilangka) dalam perjalanannya menuju India. Sebagai mana hal yang sama
juga diceritakan Tome Pires dalam buku “Suma Oriental” ditulis pada
tahun 1515, dan Pigafetta 1521 menyebutkan pulau Enggano dengan kata
OCOLORE (Pulau yang dihuni oleh wanita-wanita saja).
Jika ditelaah dari kata Enggano maka kata ini diambil dari bahasa Mon
(Hyunan China daratan) artinya rusa bertanduk. Ini menunjukkan bahwa
wanita dipulau itu berdandan rambut berkepang (Sanggul) dua yang
menonjol keatas, sebagai mana juga menjadi trend pada wanita China pada
masa itu. Sumber lain menyebutkan wanita-wanita dari Maladewa
(Srilangka) juga banyak tinggal atau menjadi budak disana. Tentunya kita
tidak tau persisnya bagai mana, namun cerita pulau Enggano sempat
mendunia menjadi pulau Khayul. Ada pula yang melukiskan sebagai kerajaan
yang hanya diperintah dan dihuni oleh wanita-wanita saja.
Kedatangan etnis India tahun 264-232 sM, dan etnis China tahun
225-216 sM ke Nusantara (Pha-mnalayu) khusunya ke Bengkulu dan Banten
(termasuk Jakarta), telah membuat goresan sejarah tersendiri pada
masyarakat Bengkulu. Etnis China ini datang ke Nusantara (Pha-mnalayu)
secara bergelombang, bersama dengan datangnya etnis India, mereka datang
dan menyebar dari Lu-Shiangshe (Baca: Bengkulu), ke-negeri Phalimbam
(Baca : Banten), negeri Da-ayak (Kalimantan, dan negeri Pone (baca :
Sulawesi). Selanjutnya berasimilasi dengan penduduk asli dan pendatang
lainnya, hingga saat ini.
Selain itu juga disebutkan, bahwa didaerah ini telah bermukim
sebanyak delapan Kepala Keluarga etnis China (Cung Kuo Jen), 40 warga
etnis China (Chi Au Sen), dan sejumlah keturunan dari ketutunan etnis
China (Chi Au Sen Se Pat Tay), dan mereka umumnya adalah pedagang emas
dan hasil bumi. Mereka rata-rata memiliki keterampilan pandai emas
(Tukang emas yang membuat perhiasan), selain pedagang hasil bumi.
Sedangkan penduduk lainnya adalah petani kebun yang makmur.
Sebuah Kitab Ramayana yang ditemukan pada tahun 72 Masehi di Ajoda
atau Ayodhya, dan sebuah lagi kitab ditemukan di kota Benares (kota suci
di India) menyebutkan, adanya tujuh (7) negeri, dan dua (2) daerah
diantaranya adalah penghasil emas dan batu mulya. Negeri yang dimaksud
adalah Lu-Shiangshe (Baca: Bengkulu), dan Phalimbham (baca : Banten).
Pada buku Ramayana itu dikatakan bahwa “Periksalah baik-baik
Javadviva, yang mempunyai tujuh buah kerajaan, yaitu Pulau Emas dan
Pulau Perak, negeri yang dihiasi pandai emas”. Tentang negeri Phalimbham
dan Lu-Shiangshe kabarnya pulau itu amat subur, tanahnya banyak
mengandung emas, mempunyai ibu negeri bernama Perak, dan pada sebelah
barat negeri terdapat sebuah penyeberangan (yang dimaksud dalam Ramayana
sebuah tempat penyeberangan dimaksud adalah Pulau Enggano atau nama
lainnya OCOLORE. Adapun tujuh kerajaan atau negeri dimaksud
masing-masing adalah sebagai berikut :
1. Phalimbham (negeri yang berada di Provinsi Banten),
2. Lu-Shiangshe (negeri yang berada di Provinsi Bengkulu),
3. Chalava atau Tarumanagara (negeri yang berada di Provinsi DKI Jakarta),
4. Kutei (negeri yang berada di Kalimantan Timur
5. Phã-mnalä-yû Tulang Bawang di Provinsi Lampung.
6. Phã-mnalä-yû Crïviyäyâ (Sriwiyaya) di Provinsi Sumatera Selatan.
7. Phã-mnalä-yû Crï-Iňdrâpurä Miňangatämvàn di Provinsi Riau.
Jika mengacu kepada berita Ramayana ini, maka nampak jelas bahwa di
Nusantara ini sekurang-kurangnya pada awal tahun Masehi telah ada
negeri, atau setidak-tidaknya telah ada tujuh pemangku adat atau
kerajaan sebagai mana tersebut diatas. Tujuh negeri yang diketahui dalam
berita Ramayana dimaksud mungkin sekali adalah merupakan ibu negerinya,
dan tidak tertutup pula kemungkinan masih banyak lagi negeri-negeri
kecil yang belum sempat diceritakan dalam berita Ramayana itu.
Situs dan Arca
Situs peninggal negeri Rejang dipesisir barat Pulau Sumatera itu,
hingga saat ini masih dapat dilihat dan ditemukan di Kabupaten Bengkulu
Utara. Situs berbentuk batu bata berukuran besar, pecahan gerabah,
poslen, kapak batu, beliung, dan alat penumbuk, bertebaran disepanjang
pantai. Sementara kuburan tua abad ke-XV M (Kuburan China) di Lebong
Tandai (diareal tambang emas) telah banyak yang rusak dan batu nisannya
(batu giok) hilang. Sebuah arca Bhudha setinggi 40 cm terbuat dari
perunggu raib dibawa pendatang, yang juga adalah peneliti pengeboran
minyak pada tahun 1971. Begitulah nampaknya pembinaan sejarah negeri
Bengkulu ini.
Claudius Ptolomeus seorang bangsa Yunani, kelahiran Iskandariah Mesir
dan tinggal di Alexandaria, juga mengungkapkan hal yang sama dalam peta
yang dibuatnya pada tahun 127-151 Masehi. Peta kuno ini ditemukan pada
tahun 165 Masehi, menyebutkan adanya “Golzden Chersonese” pulau emas di
Jabadiou, sebagai mana yang juga disebut dalam kitab Ramayana dengan
istilah Yavdvipha atau javaviva.
Peta pelayaran kuno yang dibuat berdasarkan tulisan geograf Starbo (63
sM – 21 M) merupakan peta jalur pelayaran dari Eropa ke Cina, yang
menyebutkan adanya rute pelayaran dunia melintasi Selat Sunda
(Indonesia) untuk sampai ke negeri Cina. Idrisi atau Edrisi (1099 – 1154
M) lahir di Ceuta, seorang ahli Ilmu Bumi (Geografi) bangsa
Arab-Sepanyol masa pemerintahan Roger II. Risalah yang dibuatnya adalah
merupakan kumpulan isi terpenting dari buku-bukunya terdahulu, juga
merupakan gabungan dan lanjutkan dari karya Ptolomeus dan Al Masudi
tentang peta bumi dan pelayaran.
Edrisi membuat risalahnya berdasarkan laporan-laporan asli yang
dikirimkan oleh para peninjau yang dikirimkan keberbagai negeri untuk
menguji kebenaran bahan laporan tersebut. Dengan perbandingan yang
kritis Edrisi telah menunjukan suatu pandangan yang sangat luas dan
memberikan pengertian mengenai kenyataan hakiki tentang kebulatan bentuk
bumi. Ia juga berhasil menentukan sumber-sumber air sungai Nil yang
berasal dari daratan tinggi khatulistiwa Afrika, dan dia berhasil
membuat konstruksi bulatan langit dan peta dunia dalam bentuk cakra
(Kedua-duanya terbuat dari perak).
Peta pelayaran 1411 M (merupakan peta pelayaran) yang hanya menyebut
beberapa negeri yang disinggahi perahu layar pemiliknya. Di Pulau
Sumatera hanya terdapat kota pelabuhan Pasee (NAD), Andripura
(Indrapura, Riau), Manincabo (Padang, Sumbar), Lu-Shiangshe (Provinsi
Bengkulu), Krui, Liamphon (Lamphong atau Lampung, Provinsi Lampung),
Luzupara (Kemungkinan daerah Tulang Bawang atau Manggala), Lamby
(Jambi), dan nama negeri Crïviyäyâ terletak di Musi Selebar. Peta
lainnya yang dibuat oleh Petrus Bertius dan Jodocus Hondius pada tahun
1618 M dan peta tahun 1740 M yang diterbitkan Matthnum Seutter.
Geologi dan Geografi.
Secara geografis Indonesia berada diatas tiga lempengan
Indo-Australia, lempengan Eurasia dan lempengan Pasifik, Indonesia pun
diapit oleh tiga lautan yaitu Lautan Hindhia, Lautan Pasifik dan Lautan
Cina Selatan, serta 125 gunung berapi aktif dan 4.873 buah sungai.
Dengan demikian tidaklah mengherankan apa bila negeri ini sangat rawan
dengan berbagai musibah dan bencana.
Sejarah Maritim Indonesia mencatat, bahwa musibah besar yang pernah
menimpa negeri ini Pertama kali adalah musibah yang terjadi di pesisir
selatan Provinsi Banten (Negeri Palimbam dan Panaitan) pada tahun 198
Masehi yang diperkirakan dengan kekuatan 9,2 skala Richter, sejarah
menyebutkan hampir semua penduduk yang berada dipesisir Jawa Barat
bagian Selatan dan pesisir Bandar Lampung musnah (Pralaya) ditelan
gelombang. Negeri inilah yang disebut sebagai Nusa Larang yang terletak
di daerah Gunung Tiga dalam prasasti Batu Tulis Bogor oleh dinasti
Purana (baca: Purnawarman). Sejarah menyebutkan sebagian penduduk yang
selamat mengungsi ke negeri Kalapa (Jakarta sekarang).
Musibah kedua terjadi di Tarumanagara (Negeri Kalapa atau Jakarta
sekarang) pada tahun 690 Masehi, pralaya ini menghancurkan kerajaan
besar Tarumanagara, hanya sebagian penduduk saja yang dapat mengungsi
kedarat (Bogor sekarang), dan sebagiannya mengungsi ke Kalingga
(Kerajaan Kalinga Jawa Tengah) seusai pralaya. Beberapa catatan
menyebutkan bahwa musibah kedua ini lebih dahsyat dari musibah yang
semula di Palimbam dan Panaitan Banten, karena gelombang dan banjir
telah dapat memisahkan beberapa daratan (Sekarang yang dikenal dengan
sebutan Pulau Seribu).
Musibah Ketiga yaitu meletusnya Gunung Merapi di Jawa Tengah pada
tahun 1006 Masehi, yang menghancurkan (pralaya) Kerajaan Mataram pada
masa pemerintahan Raja Dharmawangsa, musibah ini disebutkan menewaskan
seluruh hulubalang dan pengikut setia Raja Dharmawangsa, bahkan rajapun
ikut binasa. Musibah Keempat gempa bumi yang terjadi pada tahun 1586 M
meletusnya gunung Kelud di Jawa Timur. Kelima musibah yang terjadi pada
tahun 1638 M, meletusnya gunung Raung di Jawa Timur.
Keenam pada tahun 1815 M meletusnya Gunung Tambora di Sumbawa yang
banyak merenggut korban dan harta benda tak terhingga. Ketujuh musibah
meletusnya Gunung Galunggung pada tahun 1822 M meratakan lahan pertanian
dan rumah-rumah dilereng-lereng gunung, yang menelan ribuan jiwa
manusia.
Kedelapan Musibah dahsyat lainnya adalah meletusnya Gunung Krakatau di
Selat Sunda pada tanggal 23 Agustus 1883 M, musibah dahsyat ini diikuti
gelombang besar dan angin, menenggelamkan pesisir Bandar Lampung dan
Teluk Betung, selain negeri-negeri yang berada dipesisir Banten
(Provinsi Banten).
Bukti-bukti kedahsyatan musibah gempa ini masih terlihat, dimana
sebuah reruntuhan kapal yang terdampar sejauh 5 km kedarat (posisi
reruntuhan kapal tersebut saat ini persis berada dibelakang lokasi
Kantor Pemda Provinsi Bandar Lampung) yang oleh masyarakat sering
disebut dengan “Sumur Putri”, dan disana terdapat air panas alam.
Bencana Gunung Krakatau juga menyisakan sebuah pelambung rambu lalu
lintas laut yang terletak di depan asrama Brigadir Mobil (Brimob) Teluk
Betung.
Kesembilan adalah musibah angin dan gelombang Tsunami dengan kekuatan
9 skala Richter yang memporakporandakan pesisir Provinsi Aceh dan
Provinsi Sumatera Utara pada tanggal 26 Desember 2004.
Sumber: http://bengkuluutara.wordpress.com/2008/05/09/suku-rejang-sebagai-suku-asli-di-bengkulu/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar