Torino saat ini (Getty Images/Mario Carlini)
Meski bukan yang tertua di dunia, kompetisi sepak bola Liga Italia tetap
dianggap sebagai kompetisi klasik yang sudah berjalan sejak 1898 silam.
Sebelum kompetisi dengan format Serie A bergulir yang dimulai pada1929,
kompetisi sepak bola Italia menggunakan sistem turnamen regional.
Secara
total, Juventus menjadi pengumpul gelar juara terbanyak kompetisi
negeri ini. Gelar asli yang mereka miliki sebanyak 31 buah sebelum dua
gelar dicopot setelah skandal calciopoli. Di bawah Juve, muncul AC Milan
dan Inter Milan yang mengikuti dengan 18 gelar.
Selanjutnya,
tercipta jarak yang cukup besar soal pengumpul terbanyak gelar juara
liga karena di bawah trio tersebut baru muncul Genoa yang mengumpulkan
sembilan gelar. Di bawah Genoa, terdapat tiga klub yang mengumpulkan
tujuh gelar yaitu Torino, Bologna dan Pro Vercelli.
Baik Torino,
Bologna maupun Pro Vercelli merajai Liga Italia di masa lampau. Sebelum
Serie A bergulir, Genoa dan Pro Vercelli adalah tim terbaik. Namun
setelah Serie A bergulir, Torino adalah tim fantastis yang mencuat
dengan mengumpulkan lima gelar di periode 1940-an. Mereka merajai Serie A
lima musim beruntun di masa itu berkat permainan gemilang yang
diperagakan oleh tim yang dikenal dengan sebutan “Il Grande Torino”.
Kegemilangan
Il Grande Torino dimulai saat klub dibeli oleh Ferruccio Novo,
industrialis lokal yang mengakuisisi tim ini tahun 1939. Di bawah
kepemimpinan Novo, Torino disebut-sebut sebagai klub yang pertama kali
memperkenalkan sistem pencarian bakat (talent scouting) di mana Novo
mempekerjakan orang-orang yang memang kompeten di bidangnya. Sistem ini
sekarang telah digunakan oleh hampir seluruh klub sepak bola profesional
di dunia.
Usaha pencarian bakat yang sistematis tersebut
sukses. Hasilnya, Torino mendapatkan pemain-pemain yang kelak menjadi
legenda mereka seperti Franco Ossola, Ezio Loik, dan tentu saja
Valentino Mazzola.
Il Grande Torino memperagakan permainan
dengan taktik revolusioner 4-2-4. Taktik tersebut menurut para pengamat
menjadi inspirasi bagi tim Brasil saat mereka menjuarai Piala Dunia 1958
dan juga tim nasional Belanda tahun 1970-an.
Torino menunjuk
Mazzola sebagai kapten tim. Mazzola sering dianggap sebagai salah satu
gelandang terbaik yang pernah dilahirkan di Italia berkat tekniknya yang
tinggi, fisik yang kuat serta karisma di ruang ganti. Penjaga gawang
Valerio Bacigalupo adalah salah satu penjaga gawang yang pertama kali
terlihat sering keluar dari sarang untuk menghalau serangan lawan. Mario
Rigamonti dan Romeo Menti yang juga anggota tim ini bahkan diabadikan
namanya menjadi stadion markas klub Brescia dan Vicenza.
Kehebatan
mereka terbukti ketika pada periode tersebut tim nasional Italia
beranggotakan sebagian besar pemain Torino. Bahkan dalam sebuah laga uji
coba melawan Hungaria pada 1947, 10 dari 11 pemain starter tim Italia
adalah pemain Torino. Sebuah pengakuan yang wajar mengingat dalam kurun
waktu tahun 1943 hingga 1949, Torino selalu menjadi juara Serie A.
Takdir
memang datang tanpa bisa diduga. Kedigdayaan Il Grande Torino harus
berakhir selama-lamanya oleh tragedi kecelakaan pesawat pada 4 Mei 1949,
tepat 64 tahun yang lalu. Sekembalinya dari kota Lisbon, Portugal untuk
melakoni pertandingan uji coba melawan Benfica, pesawat yang mengangkut
skuat Torino beserta staf pelatih menabrak bukit Superga karena terbang
terlalu rendah saat hendak mendarat.
Klub-klub peserta Liga
Italia lainnya kemudian sepakat memberi gelar scudetto kepada Torino
tahun itu sebagai bentuk penghormatan. Namun Torino menolak. Alih-alih
menerima pemberian itu, Torino tetap memutuskan untuk menyelesaikan
kompetisi yang tinggal tersisa empat laga lagi dengan pemain junior
mereka.
Klub-klub lainnya kemudian memutuskan untuk ikut
menurunkan pemain-pemain junior sebagai bentuk solidaritas. Torino pada
akhirnya memenangi seluruh empat laga sisa, dan memenangi scudetto di
lapangan, bukan hasil pemberian.
Bagaimanapun, tragedi ini mengubah sejarah sepak bola Italia secara umum.
Tragedi
ini berimbas langsung pada tim nasional Italia. Mereka kehilangan
pemain-pemain andalan yang memang selama ini disumbangkan oleh pemain
Torino. Karena trauma, tim nasional Italia berangkat ke Brasil dengan
kapal laut untuk mengikuti Piala Dunia 1950, dan mereka langsung
tersingkir akibat kondisi fisik yang tidak memadai selepas perjalanan
jauh.
Butuh waktu hingga satu dekade untuk mengembalikan
kebesaran sepak bola negeri itu. Banyak pula pihak yang menganggap
tragedi Superga memengaruhi peta kekuatan klub sepak bola di Eropa.
European Cup, turnamen yang menjadi cikal bakal Liga Champions, dihelat
pertama kali tahun 1955. Saat itu Real Madrid berjaya dengan pemain
seperti Alfredo Di Stefano.
Jika tim Il Grande Torino masih
ada, banyak pihak menduga Real Madrid tidak akan mudah memenangi lima
gelar turnamen secara beruntun dalam kurun waktu tahun 1956-1960
tersebut. Pendapat yang cukup masuk akal karena saat tragedi Superga
terjadi, kebanyakan pemain Torino masih berusia di bawah 30 tahun.
Takdir manusia memang tidak bisa ditebak.
Sumber: http://id.olahraga.yahoo.com/blogs/arena/tragedi-superga--akhir-dari-sebuah-generasi-emas-093127372.html