Masa Penjajahan Belanda
Pada tahun 1615 atas perintah Jan
Pieterzoon Coen, yang kemudian pada tahun 1619 menjadi Gubernur Jenderal
VOC, diterbitkan “Memories der Nouvelles”, yang ditulis dengan tangan.
Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa “surat kabar” pertama di
Indonesia ialah suatu penerbitan pemerintah VOC.
Pada Maret 1688, tiba mesin cetak pertama
di Indonesia dari negeri Belanda. Atas intruksi pemerintah, diterbitkan
surat kabar tercetak pertama dan dalam nomor perkenalannya dimuat
ketentuan-ketentuan perjanjian antara Belanda dengan Sultan Makassar.
Setelah surat kabar pertama kemudian terbitlah surat kabar yang
diusahakan oleh pemilik percetakan-percetakan di beberapa tempat di
Jawa. Surat kabar tersebut lebih berbentuk koran iklan. fungsinya untuk
membantu pemerintahan kolonial belanda.
Awal Kemerdekaan (1942-1945)
Pers di awal kemerdekaan dimulai pada saat jaman jepang. Dengan munculnya ide bahwa beberapa surat kabar sunda bersatu untuk meneritkan
surat kabar baru Tjahaja (Otista), beberapa surat kabar di Sumatera
dimatikan dan dibuat di Padang Nippo (melayu), dan Sumatera Shimbun
(Jepang-Kanji).
Dalam kegiatan penting mengenai
kenegaraan dan kebangsaan Indonesia, sejak persiapan sampai pencetusan
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, sejumlah wartawan pejuang dan pejuang
wartawan turut aktif terlibat di dalamnya. Di samping Soekarno, dan
Hatta, tercatat antara lain Sukardjo Wirjopranoto, Iwa Kusumasumantri,
Ki Hajar Dewantara, Otto Iskandar Dinata, G.S.S Ratulangi, Adam Malik,
BM Diah, Sjuti Melik, Sutan Sjahrir, dan lain-lain.
Penyebaran Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia
Penyebarluasan tentang Proklamasi
Kemerdekaan Republik Indonesia dilakukan oleh wartawan-wartawan
Indonesia di Domei, di bawah pimpinan Adam Malik. Berkat usaha
wartawan-wartawan di Domei serta penyiar-penyiar di radio, maka praktisi
pada bulan September 19945 seluruh wilayah Indonesia dan dunia luar
dapat mengetahui tentang Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.
RRI (Radio Republik Indonesia) terbentuk
pada tanggal 11 September 1945 atas prakasa Maladi. Dalam usahanya itu
Maladi mendapat bantuan dari rekan-rekan wartawan lainnya, seperti Jusuf
Ronodipuro, Alamsjah, Kadarusman, dan Surjodipuro. Pada saat
berdirinya, RRI langsung memiliki delapan cabang pertamanya, yaitu di
Jakarta, Bandung, Purwokerto, Yogyakarta, Surakarta, dan Surabaya.
Surat kabar Republik I yang terbit di
Jakarta adalah Nerita Indonesia, yang terbit pada tanggal 6 September
1945. Surat kabar ini disebut pula sebagai cikal bakal Pers nasional
sejak proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Setelah Proklamasi
Kemerdekaan Republik Indonesia, perkembangan pers republic sangat pesat,
meskipun mendapat tekanan dari pihak penguasa peralihan Jepang dan
Sekutu/Inggris, dan juga adanya hambatan distribusi.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik
Indonesia, di Sumatera dan sekitarnya, usaha penyebarluasan berita
dilakukan mula-mula berupa pamflet-pamflet, stensilan, sampai akhirnya
dicetak, dan disebar ke daerah-daerah yang terpencil. Pusat-pusatnya
ialah di Kotaraja (sekarang Banda Aceh), Sumatera Utara di Medan dimana
kantor berita cabang Sumatera juga ada di Medan, lalu Sumatera Barat di
Padang, Sumatera Selatan di Palembang. Selain itu, di Sumatera muncul
surat kabar-surat kabar kaum republik yang baru, di samping surat surat
kabar yang sudah ada berubah menjadi surat kabar Republik, dengan nama
lama atau berganti nama.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan RI
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik
Indonesia di Sulawesi dan sekitarnya, kalangan pers selalu mendapat
tekanan-tekanan, seperti yang dialami Manai Sophiaan yang mendirikan
surat kabar Soeara Indonesia di Ujung Pandang. Di Manado dan sekitarnya
(Minahasa) tekanan dari pihak penguasa pendudukan selalu dialami oleh
kalangan pers. Di daerah terpencil, seperti Ternate yang merupakan
daerah yang pertama kali diduduki oleh tentara Sekutu, para pejuang di
kalangan pers tetap mempunyai semangat tinggi.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik
Indonesia di Jawa dan sekitarnya, pertumbuhan pers paling subur, bila
dibandingkan dengan daerah-daerah lain di wilayah RI ini. Hal itu
disebabkan jumlah wartawan yang lebih banyak dan juga karena pusat
pemerintahan RI ada di Jawa. Pusat-pusatnya, adalah di Jakarta, Bandung,
Semarang, Yogyakarta, Surakarta, Solo, dan Surabaya.
Sementara itu, para wartawan dan penerbit
sepakat untuk menyatukan barisan pers nasional, karena selain pers
sebagai alat perjuangan dan penggerak pembaangunan bangsa. Kalangan pers
sendiri masih harus memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi masa
kini dan masa mendatang. Untuk itulah, maka kalangan pers membutuhkan
wadah guna mempersatukan pendapat dan aspirasi mereka. Hal tersebut
terwujud pada tanggal 8-9 Februari 1946, dengan terbentuknya Persatuan
Wartawan Indonesia (PWI) di Solo atau Surakarta.
Setelah Agresi Militer
Setelah agresi militer Belanda 1 pada
tanggal 21 Juli 1947, keadaan pers republik bertambah berat dan sulit.
Kegiatan penerbitan dan penyiaran waktu itu mengalami pengekangan dan
penekanan yang berat, karena pihak penguasa Belanda bisa secara
tiba-tiba langsung menyerbu ke kantor redaksi atau percetakan surat
kabat yang bersangkutan, sekaligus menangkap pemimpin redaksi maupun
wartawan surat kabar tersebut. Pihak penguasa Belanda mengusahakan
penerditan non republik dibantu oleh kaum separatis Pro Belanda. Usaha
tersebut dilakukan dengan tujuan untuk melancarkan propaganda sekaligus
politik adu dombanya, yang dapat menumbuhkan kebingungan dan kepanikan
di kalangan masyarakat luas.
Sewaktu pusat Pemerintahan RI pindah ke
Yogyakarta, kantor berita Antara pusat turut pindah di bawah pimpinan
Adam Malik Batubara, dan KB Antara Jakarta menjadi cabang yang dipimpin
oleh Mochtar Lubis, Ibnu Muhammad Arifin, dan Wan Asa Bafagih. Ini
berakibat juga pindahnya sebagian tokoh-tokoh pers Republik ke Pusat
Pemerintahan RI yang baru tersebut.
Keadaan Republik Indonesia bertambah
suram lagi sewaktu pada tanggal 19 Desember 1948 penguasa Belanda
berhasil menduduki kota Yogyakarta. Penguasa Belanda dan kaum separatis
pro Belanda semakin berani bertindak kekerasan dan melakukan penahanan
terhadap para pejuangdan kalangan pers (wartawan) Republik. Pada masa
itu jumlah wartawan sedikit, umumnya para wartawan tersebut ditangkap
dan dipenjarakan sebagai tahanan politik. Para wartawan yang berhasil
lolos ada yang keluar kota dan ada juga yang ikut bergerilya bersama TNI
di pedalaman dan di desa=desa terpencil. Meski begitu, mereka tetap
mengusahakan penerbitan berupa stensilan.
Usaha penerbitan pers RI juga diramaikan
oleh partisipasi pihak lain, seperti; kalangan pers dari golongan
peranakan Cina dan keturunan Arab, ditambah dari pihak TNI di
daerah-daerah tertentu dan yang terakhir adalah pemerintah RI sendiri
mengusahkan penerbitan dengan membantu pembiayaan usaha penerbitan pers
oleh kalangan pers (wartawan) Republik.
Masa Orde Bru (1959-1998)
Di masa demokrasi Liberal, tiap orang
yang memiiki uang atau modal boleh menerbitkan surat kabar atau majalah.
Tidak diperlukan izin atau pengesahan dari siapapun. Melalui surat
kabar dan majalah ini orang boleh menyampaikan pendapat dan perasaannya,
sehingga banyak Koran dan majalah muncul di masa ini dan mereka saling
berlomba menerbitkan surat kabar dan majalah sekalipun namyak yang tidak
bisa bertahan untuk terus terbit dengan teratur.
Koran-koran bekas milik RDV (Dinas
Penerangan Belanda), setelah pengakuan kedaulatan dialihkan ke tangan
tenaga-tenaga Indonesia, Koran bekas RDV hidup jauh lebih baik daripada
Koran Indonesia yang ditangani langsung oleh orang Indonesia. Hal ini
antara lain disebabkan Koran milik RDV sewaktu dialihkan sudah mempunyai
aparat distribusi yang lengkap. Selain itu koran RDV mempunyai aparat
distribusi yang lengkap. Selain itu koran RDV mempunyai peralatan cetak
yang jauh lebih lengkap dan canggih dibandingkan dengan percetakan koran
bangsa Indonesia.
Matinya majalah dan koran bermutu di masa
Demokrasi Liberal kemungkinan besar disebabkan oleh mismanajemen atau
salah urus baik dibidang teknik redaksional, teknis peralatan, keuangan,
dan bernagai urusan perusahaan lainnya. Disamping itu munculnya koran
dan majalah yang isinya mengarah ke pornografi membuat keadaan semakin
buruk.
Di masa awal pelaksanaan Demokrasi
Terpimpin, surat kabar dan majalah yang tidak bersedia ikut serta dalam
gelombang Demokrasi Terpimpin harus menyingkir atau disingkirkan.
Semakin lama peaturan ini semakin ketat. Di Jakarta, keluar larangan
berpolitik dalam segala bentuk termasuk dalam bentuk tulis-menulis.
Khusus mengenai pers ada Sembilan ketentuan yang salah satunya adalah
pers dan alat-akat penyiaran lainnya dilarang melakukan penyiaran
kegiatan politik yang langsung dapat mempengaruhi haluan Negara, dan
tidak bersumber pada badan pemerintahan yang berwenang untuk itu.
SIT adalah Surat Izin Terbit dan SIC
adalah Surat Izin Cetak yang pada masa Demokrasi Terpimpin sukar
mendapatkannya. Semua penerbit pada tahun 1960 diwajibkan mengajukan
permohonan SIT, sebagai pengesahan dillakukannya kegiatan penyiaran.
Pada bagian bawah permohonan SIT tercantum 19 pasal pernyataan yang
mengandung janji penanggung jawab surat kabar tersebut yaitu jika ia
diberi SIT akan mendukung jawab surat kabar tersebut yaitu jika ia
diberi SIT akan mendukung Manipol-Usdek dan akan mematuhi pedoman yang
telah dan akan dikeluarkan oleh penguasa. Pernyataan ini dengan mudah
dipergunakan oleh penguasa sebagai alat penekan surat kabar.
PWI sebagai satu-satunya organisasi
wartawan yang diakui pemerintahdi masaDemokrasi Terpimpin dikelola oleh
wartawan-wartawan berpaham komunis dan yang bersimpati pada paham ini.
PKI berusaha menguasai PWI dengan sekuat tenaga karena melalui PWI, SPS,
dan Pancatunggal SIT dan SIC dikeluarkan. Dengan demikian dapat
menentukan siapa yang bisa diberi SIT dan SIC.
BPS singkatan dari Badan
Pendukung/Penyebar Soekarnoisme. Badan ini dibentuk untuk menandingi
organisasi yang berinduk pada PKI. Tokohnya yang terkenal adalah Sajuti
Melik BPS tidak menyetujui Nasakaom tetapi setuju dengan Nasasos
(Naionalis, Agama, Sosialis). Koran pendukung BPS harus bersedia memuat
tulisan Sajuti Melik sebagai usaha mengimbangi dan mengadakan perlawanan
PKI. BPS ditentang PKI dengan tuduhan BPS hendak mengadakan PWI
tandingan. Sehingga perang pena dan fitnah pun terjadi.
Sewaktu menerbitkan Berita Yudha,
Jenderal Ahmad Yani menyadari di masa Demokrasi Terpimpin itu akan
sangat membahayakan masyarakat apabila tidak ada lagi pegangan dan hanya
mendapat satu sumber berita. Saat itu hanya ada suara dari PKI, karena
itu perlu diambil alih dengan segera harian pendukung BPS Berita
Indonesia dan mengganti namanya Berita Yudha dengan motto: Untuk
Mempertinggi Ketahanan Revolusi Indonesia. Sedangkan Jenderal A. H
Nasution juga menerbitkan surat kabar bernama Angkatan Bersenjata dengan
inti tujuan yang sama.
Beberapa faktor penunjang keberhasilan PKI dalam bidang pers dan media massa yaitu:
Disiplin kerja. Dengan disiplin kerja, mereka bersedia menyingkirkan pendapat pribadi dengan patuh pada indtruksi atasan.
Jaminan Sosial. Mereka mendapat jaminan dalam kehidupannya.
Jaminan Sosial. Mereka mendapat jaminan dalam kehidupannya.
Hubungan dengan fungsionaris/tokoh partai. Hubungan ini akan mempermudah control atas tiap anggota.
Sebagai langkah awal dalam usaha
merumuskan kehidupan pers nasional sesuai dengan dasar Negara Pancasila
dan UUD 1945, adalah dengan dikeluarkannya Ketetapan MPRS No.
XXXII/MPRS/1966 pada tanggal 6 Juli 1966. Kalangan pers menyambut
keluarnya ketetapan MPRS tersebut dengan pencetusan Deklarasi Wartawan
Indonesia, yang dihasilkan oleh konferensi Kerja PWI di Pasir Putih Jawa
Timur pada tanggal 13-15 Oktober 1966.
Setelah DPR berhasil merealisasikan UU
No. 11/1966 sebagai UU Pokok Pers pada tanggal 12 Desember 1966, masalah
selanjutnya adalah mengenai kesepakatan dalam penafsiran dari UU Pokok
Pers tersebut, terutama masalah fungsi, kewajiban dan hak per situ
sendiri.
Dalam usaha memantapkan penafsiran serta
pelaksaan UU Pokok Pers dalam praktiknya, amak dibentuklah Dewan Pers.
Dewan Pers merupakan pendamping pemerintah untuk bersama-sama membina
pertumbuhan dan perkembangan pers nasional.
Selama masa 4 tahun pertama pemerintahan
Orde Baru, meski pemerintah menghadapi berbagai masalah stabilitas dan
rehabilitas i keamanan, politik pemerinta dan ekonomi, telah diisi
dengan langkah-langkah awal peletakan kerangka dasar bagi pembangunan
pers Pancasila.
Tahap selanjutnya adalah tahap pemantapan
menuju tahap pemapanan diri dalam pers nasional. Pada tahap ini upaya
yang dialkukan adalah penerapan mekanisme interaksi positif antara pers,
masyarakat dan pemerintah.
Masa Reformasi
Salah satu jasa pemerintahan B.J. Habibie
pasca Orde Baru yang harus disyukuri ialah pers yang bebas.
Pemerintahan Presiden Habibie mempunyai andil besar dalam melepaskan
kebebasan pers, sekalipun barangkali kebebasan pers ikut merugikan
posisinya sebagai presiden.
Sumber: http://tanahleluhurku.wordpress.com/2013/04/08/sejarah-perkembangan-pers-di-indonesia/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar