Jumat, 04 November 2011

Realitas Sosial yang diBuat Oleh Media

Ditemukannya mesin cetak mendorong perkembangan media cetak. Surat kabar atau majalah merupakan media penyebar informasi yang dimanfaatkan oleh khalayak (Budiyanto, 2005:46). Media massa pun baru ditemukan tahun 1920-an, istilah media dan media massa mempunyai pengertian yang berbeda. Media adalah alat/saluran untuk menyampaikan informasi/data, sedangkan media massa adalah alat/saluran untuk menyampaikan informasi/data kepada khalayak ramai/luas (Mas Agus Firmansyah, 2011). Yudisiani, M. Si (2011) mengatakan bahwa, ditemukannya mesin cetak dan media yang menyebarkan informasi kepada khalayak dan khalayak bereaksi sesuai dengan prediksi, sehingga menciptakan ikatan kelompok/komunitas.                                     

Dalam  kehidupannya manusia senantiasa hidup berkelompok dan bermasyarakat atau istilahnya Zoon Politicon menurut Aristoteles. Dengan hidup berkelompok, manusia dapat memenuhi kebutuhannya. Dan melalui kelompok-kelompok sosial manusia melakukan interaksi sosial. Interaksi sosial antar kelompok dalam bentuk yang besar itulah yang disebut dengan masyarakat. Dengan demikian, masyarakat dapat didefinisikan sebagai sekelompok manusia yang saling berhubungan secara timbal balik dan didasari oleh kepentingan yang sama.

Konsep masyarakat erat hubungannya dengan lingkungan, di mana ketika seseorang berinteraksi dengan sesama, maka lingkungan ikut menjadi faktor yang mempengaruhi sikap, kelakuan, kebiasaan, dan lain-lain yang ada di lingkungannya. Ferdinand Tonnies, dalam ilmu sosiologi mengelompokkan masyarakat menjadi dua macam yaitu: 1) Masyarakat Paguyuban (Gemeinschaft) merupakan masyarakat yang ditandai dengan hubungan antara anggota-anggota warga berdasarkan ikatan kekeluargaan yang sangat mendalam (batiniah) dengan perwujudan rasa cinta, rasa solidaritas yang tinggi, dan pengorbanan tanpa pamrih; 2) Masyarakat Patembayan (Gesselschaft) merupakan masyarakat yang ditandai dengan hubungan antara anggota-anggota warga yang lebih mengutamakan pamrih, ikatan yang lemah, dan bersifat materi/kebendaan.

Dalam realita sosial yang lebih konkrit dalam hidup bermasyarakat, maka manusia senantiasa dibumbui dengan berbagai benturan kepentingan yang berbeda sebagai cermin manusia sebagai makhluk individu: manusia memiliki karakteristik tertentu yang membedakannya dengan manusia yang lain, yakni cenderung ingin menang sendiri dan mementingkan kepentingan pribadi walaupun di satu sisi tidak bisa hidup tanpa bantuan orang lain. Di sini jelas hakikatnya bahwa manusia bersifat monodualis, artinya manusia selain sebagai makhluk individu sekaligus sebagai makhluk sosial. Dan apabila kita hubungkan antara konsep Masyarakat Patembayan (Gesselschaft) yang dikemukakan oleh Ferdinand Tonnies dengan konsep manusia sebagai makhluk individu, maka akan tampak keterkaitan satu sama lain apalagi kalau kita melihat fenomena yang terjadi pada saat ini.

Dewasa ini Masyarakat Paguyuban (Gemeinschaft) yang menjunjung tinggi nilai-nilai kekerabatan walaupun masih ada tetapi bisa dikatakan sudah mulai luntur terkikis perubahan zaman. Sekarang ini sifat-sifat individual manusia lebih menonjol dan kecenderungan untuk tidak mau peduli dengan orang lain sudah mulai menjadi benih-benih yang mengkhawatirkan. Segala sesuatu diperhatikan atas untung dan rugi serta penyakit malas tidak mempunyai motivasi jika yang dikerjakan tidak memberikan kontribusi sebanding dengan apa yang dikerjakan. Kondisi yang lambat laun tidak menutup kemungkinan akan mengakar dalam kehidupan masyarakat, jika nilai dan norma yang berlaku tidak menjadi pegangan atas landasan. Jadi sangat beralasan jika kami mengutip salah satu iklan di televisi yaitu “susah lihat orang senang, senang lihat orang susah”. Ungkapan yang bermakna sindiran namun begitu melekat dalam kondisi masyarakat pada saat ini walaupun tidak seluruhnya. Betapa tidak, pada saat ini masyarakat semakin acuh tak acuh dengan keadaan sekitarnya.

Dan lebih mirisnya lagi muncul berbagai asumsi-asumsi negatif dan tidak menyenangkan yang dilontarkan jika melihat orang lain mencapai suatu kesuksesan. Aneh, namun realita sosial ini terjadi dalam masyarakat. Lebih besar lagi masyarakat dan realita sosial yang memprihatinkan kita jumpai dan saksikan dalam tayangan-tayangan di televisi. Lihatlah stasiun televisi sekarang berlomba-lomba menyajikan program-program reality show yang menjanjikan hadiah miliaran rupiah. Semakin tinggi hadiahnya semakin tinggi pula rating program televisi tersebut. Ironisnya, pemegang hadiah tersebut notabenenya adalah orang-orang yang dari segi pendapatan mempunyai penghasilan yang sudah layak sedangkan masyarakat dari golongan bahwa hanya bisa menjadi penonton setia sekaligus gigit jari menyaksikan tayangan tersebut dan membayangkan dalam khayalan, jika hadiah itu menjadi milik mereka. Namun sayang hanya sebatas khayalan yang jauh dari harapan. Jauh panggang dari api. Ini berarti seharusnya angka kemiskinan di Indonesia tidak separah yang diberikan, buktinya di tengah keprihatinan kita terhadap masyarakat miskin ternyata negeri ini memiliki orang-orang kaya yang justru menghambur-hamburkan uang yang ternyata tidak tepat sasaran. 

Tidak tepat sasaran menurut persepsi kami tetapi tidak menurut mereka yang memiliki uang tersebut, toh itu semua adalah uang mereka dan terserah mereka pula bagaimana memanfaatkannya. Namun tentunya kita sepakat menyetujui bahwa alangkah lebih bermanfaat lagi jika hadiah milyaran rupiah tersebut digunakan untuk kepentingan saudara-saudara kita yang kekurangan, membantu meringankan beban saudara-saudara kita yang ada di Sidoarjo, korban lumpur Lapindo dan masih banyak lagi realita sosial yang menjadi problema yang seharusnya menjadi prioritas utama untuk ditangani.
Kami menggemari bahkan kami yakin kita semua akan menggemari dan ingin menyaksikan lagi program-program reality show seperti Uang Kaget dan Bedah Rumah di RCTI, program Tolong di SCTV, program Pulang Kampung di Trans 7, program Jika Aku Menjadi di Trans TV, dan beraneka macam lagi program sejenis yang lebih mendidik dan berguna karena menyentuh masyarakat golongan bawah. Dengan adanya program tayangan seperti itu, kita dapat belajar banyak tentang kejadian-kejadian yang terjadi sekitar kita yaitu betapa pentingnya kita mensyukuri apa yang telah kita miliki dan mensyukuri apa yang telah diberikan oleh Tuhan kepada kita. Sangat tepat jika kita mengambil ungkapan orang bijak bahwa “Untuk Maju Lihat ke Atas dan Untuk Bersyukur Lihat ke Bawah”.

Media Massa pun banyak membuat suatu realita sosial, yakni :

1.      Realitas Sosial Kepolisian Republik Indonesia

Di dalam ranah panggung depan polisi seringkali di anggap oleh masyarakat Indonesia sebagai  sosok yang menakutkan, sebagai contoh ketika masyarakat kehilangan seekor kambing masyarakat akan berimajinasi apabila melaporkan kehilangan tersebut ke kepolisian, maka kekawatiran sapinya pun akan hilang. Maksudnya, berbelit-belitnya birokrasi di kepolisian mulai dari biaya mendatangkan saksi di pengadilan, besarnya uang untuk membayar seorang pengacara bila diperlukan hingga biaya pulang pergi ke kepolisian. Tetapi media massa mampu menyiarkan sudut pandang yang berbeda dari kepolisian, kemunculan Briptu Nurman Kamaru yang berawal dari lifsing lagu chaiya-chaiya yang di upload ke Youtube. Selama dua pekan Briptu Norman Kamaru bersama lifsingnya di dipublikasikan berbagai media massa di Indonesia. Hal ini berakibat naiknya kepercayaan masyarakat terhadap kepolisian, Briptu Norman Kamaru pun memiliki Triple fungsi ditengah masyarakat yakni, melindungi, mengayomi dan sekaligus menghibur.

2.      Realitas Sosial Dewan Perwakilan Rakyat

Perspektif Dramaturgis Goffman menyatakan bahwa back stage harus merupakan sesuatu yang berbeda dibandingkan front stage, dimana peristiwa sosial ditampilkan secara formal dan sosok diri ditampilkan seideal mungkin di front stage dan perilaku yang bukan umum karena kacaunya istilah panggung politik, maka penelitian ini telah dapat dimodifikasi dan mengembangkan perspektif Goffman bagi tim atau politisi lainnya sehingga kekerasan itu bisa terjadi baik dipanggung depan, terjadi dalam bentuk kekerasan fisik maupun kekerasan psikologis, penelitian juga berhasil menemukan terminology kekerasan yang terkait dengan penyampaian pesan politik sebagai “premanisme” politik (Lely Arrianie, 2010:V).

Hal ini dibuktikan dengan tingkah laku salah satu anggota DPR RI dari fraksi partai PKS Arifinto yang kedapatan oleh wartawan Media Group sedang menonton video porno ketika sedang berlansungnya sidang paripurna DPR belum lama ini. Jadi jelas terlihat apapun alibi maupun alasan Arifinto sudah menampilkan sosok yang tidak seharusnya dia tampilkan di front stage. Padahal itu merupakan back stage bagi dirinya sendiri.

3.      Realitas Sosial Pelawak

Media massa membuat suatu program yang fungsinya untuk menghibur khalayak . sebagai contoh program Opera Van Java di Stasiun TV Trans7 menampilkan pola tingkah laku pelawak yang menghibur masyarakat dengan lelucon-lelucon yang dibuat oleh pelawak tersebut. Bagaimana Parto memegang peranan sebagai dalang yang mengkoordinir Sule, Azis, Nunung dan Andre dan lain-lain. Dengan begitu sebenarnya Parto mengarahkan para pelawak Opera Van Java tersebut. Akan tetapi, suatu ketika mau pulang dari syuting OVJ  Parto diwawancarai oleh para wartawan mengenai kenapa dia beristri lagi. Dengan emosinya Parto mengeluarkan pistol dari balik bajunya , dan menembakan senjata api tersebut ke arah atap gedung. Hal ini membuat wartawan menjerit ketakutan.

4.      Realitas Sosial Presiden Republik Indonesia

Dalam pandangan  Offe, pemerintahan merupakan hasil tindakan administratif dalam berbagai bidang. Pemerintahan bukan merupakan hasil pelaksanaan tugas pemerintah berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ditetapkan sebelumnya; tetapi lebih merupakan hasil kegiatan produksi bersama (corproduction) antara lembaga pemerintahan dengan klien masing-masing.

Media massa pun berhasil menampilkan sebuah realita sosial seperti apa sosok presiden Republik Indonesia yang pada setiap pidato seringkali memnyebut demi kepentingan dan kemakmuran Rakyat Indonesia, akan tetapi pada kesempatan lain pun skenario yang dimainkan oleh presiden berubah demi mempertahankan koalisi partai yang mengusungnya yang dikenal dengan istilah “Setgab” atau demi kepentingan partainya sendiri.

Hal ini tampak mengejala ketika begitu banyaknya desakan dari partai oposisi agar Presiden Republik Indonesia mundur dari jabatannya karena lebih mementingkan partai pengusung daripada kesejahteraan rakyat, akan tetapi dengan kekuatan lobi-lobi politik ternyata tuntutan ini hanya ibarat “buah simalakama” mau dimakan meracuni tidak dimakan malah membunuh. Partai oposisi berdebat bahkan terpecah akibat keputusannya itu.

Memang baik presiden dan Media memiliki kekuasaan dan efek yang dahsyat terhadap publik. Apa yang di anggap penting oleh media seringkali penting pula bagi khalayak.

Dengan demikian realita sosial “susah lihat orang senang, senang lihat orang susah” seiring waktu berjalan berubah menjadi “susah lihat orang susah, senang lihat orang senang”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar