Jumat, 04 November 2011

Masyarakat Tionghoa Bengkulu Sebagai “Sistem Nilai Budaya”

             Menurut Koenjtaraningrat dalam bukunya yang berjudul Mentalitas Kebudayaan dan Pembangunan menyebutkan bahwa: 
“banyak orang mengartikan konsep itu dalam arti yang terbatas, ialah pikiran, karya, dan hasil karya manusia yang memenuhi hasratnya akan keindahan. Kebudayaan adalah kesenian. Para ahli ilmu sosial, mengartikan konsep kebudayaan itu dalam arti yang amat luas yaitu seluruh total dari pikiran, karya, dan hasil karya manusia yang tidak berakar kepada nalurinya, dan yang karena itu hanya bisa dicetuskan oleh manusia sesudah suatu proses belajar”.

Karena demikian luasnya, maka guna keperluan analisa konsep kebudayaan itu perlu dipecah lagi kedalam unsur-unsurnya yang biasa dikenal “unsur-unsur kebudayaan yang universal”. Menurut Koenjtaraningrat unsur-unsur kebudayaan universal itu adalah :
1. sistem religi dan upacara keagaaman,
            2. sistem dan organisasi kemasyarakatan,
            3. sistem pengetahuan,
            4. bahasa,
            5. kesenian,
            6. sistem mata pencaharian hidup,
            7. sistem teknologi dan peralatan

Unsur-unsur kebudayaan universal di atas merupakan unsur-unsur yang pasti bisa ditemukan di semua kebudayaan di dunia, baik yang hidup dalam masyarakat pedesaan yang kecil terpencil maupun dalam masyarakat kekotaan yang besar dan komplek. 

Identitas Bengkulu dalam keberagamanpun  sering diperdebatkan di seminar-seminar yang membahas masalah ini di Bengkulu. Pada dimensi lain sesuai dengan keberagaman itu sendiri. Baik keberagaman dalam unsur SARA (Suku Agama Ras dan Antar Golongan) serta keberagaman lainnya. Dimana semua keberagaman itu haruslah mencerminkan sinkronisasi, sehingga membentuk sistem dan menghindarkan konflik. Sebagai contoh kehidupan masyarakat Tionghoa di Bengkulu.

Secara umum masyarakat Tionghoa dibedakan atas dua. Pertama, umum; kedua, turunan (yang lahir di tempat lain atau campuran). Sebenarnya ketika kita melihat sejarah, maka pada dasarnya dapat disimpulkan bahwa Cina merupakan salah satu pusat kebudayaan tertua di dunia, menurut Sosiolog Unib Drs, Sulistya Wardaya, M. Si. Definisi masyarakat adalah hubungan antar manusia yang memiliki kesepakatan dan kesamaan tujuan untuk mempertahankan keberadaannya.

Ketika berbicara tentang masyarakat Tionghoa di Bengkulu, Maka penulis yang saat ini menempuh studi di Jurusan Ilmu Komunikasi UNIB semester IV mengasumsikan bahwa sesungguhnya masyarakat Tionghoa di Bengkulu merupakan Tionghoa turunan. Hal ini diperkuat dengan banyaknya sebutan-sebutan yang digunakan oleh masyarakat pribumi yang menyebut bagi orang-orang bermata sipit/ turunan Tionghoa ini dengan sebutan orang keturunan Cina.

Di Bengkulu terdapat sebuah kampung yang terletak di pesisir  pantai Bengkulu yang  dahulunya digunakan sebagai pusat-pusat pasar Bengkulu, hal ini dapat dilihat dengan bentuk-bentuk rumah yang sudah berumur dengan terdapat bekas toko dibagian rumah mereka dan kampung tersebut berdekatan dengan benteng Marlborough. Sebagian besar rumah berjejer rapi dengan arsitektur yang persis sama. Beberapa saat lalu melihat dilayar televisi lokal tentang liputan kampung tersebut yang diliput oleh Andri Safitri sebagai presenternya. Menarik perhatian penulis adalah ketika presenter salah satu televisi swasta tersebut mewawancarai pasangan suami istri turunan Tionghoa yang diperkirakan berumur 70-an. Pasangan suami istri itu menyebutkan bahwa rumah yang mereka tempati sekarang, dahulunya adalah sebagai toko manisan yang menyediakan kebutuhan-kebutuhan pokok rumah tangga. Masyarakat Tionghoa di kampung itu berniaga dengan membuka toko kelontong/ manisan. Hingga sekarang masyarakat menyebut kampung tersebut dengan sebutan Kampung Cina.

Kalau di Bengkulu Selatan/ Manna masyarakat tionghoa  tidak membentuk sebuah perkampungan, Tetapi bercampur baur dengan masyarakat sekitar baik itu masyarakat pribumi dan pendatang. Di Manna masyarakat Tionghoa mayoritas berusaha dalam bidang perniagaan. Dengan mendirikan toke/ gudang hasil komoditi Bengkulu Selatan, yakni : toke kopi, jagung, kacang tanah, cengkeh, palah hitam dan palah putih, kakao, bangka dan hasil bumi lainnya. Penulis menjumpai adanya toko-toko yang membeli hasil-hasil pertanian dengan sistem jemput dan antar. Mayoritas milik orang turunan Tionghoa. Seperti Toke Tambi yang terletak di Simpang Rukis, Toke Acai yang bertetanggahan dengan Toke Tambi, dan Toke-Toke milik turunan Tionghoa lainnya.

Ada juga orang turunan Tionghoa Cina yang membuat Toko yang menyediakan barang-barang pecah belah. Bahkan ada juga yang membangun toko grosir HP dan aksesorisnya. Sebut saja Toko Vizta-Zone yang terletak didepan SMPN 1 Kota Manna, Padang Sialang B/S. Sdri Ling Ling dan Sdr Tulus sebagai ownernya. Toko ini merupakan salah satu toko ponsel terbesar di Kota Manna, sehingga tidak heran jika banyak masyarakat yang membeli Voucher, Hand Phone terbaru, Kartu Perdana, Chasing HP, LCD, Speaker, LCD, dan lain sebagainya di toko Vizta-Zone tersebut.

Dalam usaha perbengkelan juga terdapat bengkel-bengkel motor yang pemiliknya orang turunan tionghoa. Sebagai contoh Bengkel Apollo, Bengkel Koko di simpang tiga Pematang Bangau. Bahkan, ada juga yang bergerak dalam usaha sarang walet. Sejarah menceritakan bahwa pada tahun runtuhnya rezim Orde Baru atau Rezim Soeharto. Begitu banyak masyarakat Tionghoa yang ada di Indonesia umumnya dan khusus di Bengkulu menjadi korban pembantaian akibat kekerasan masyarakat Indonesia akan kediktatoran Orde Baru. Pembakaran rumah-rumah, tempat-tempat usaha, beserta pembunuhan orang-orang Tionghoa yang sebagian besar dengan cara dibakar beserta rumah-rumah mereka. Sehingga hal ini meninggalkan trauma yang mendalam bagi orang turunan Tionghoa.

Bahkan disaat  Soeharto memimpin Indonesia. Orang turunan Tionghoa tidak di bolehkan memakai nama berciri khas Cina. Mereka diwajibkan menganti nama dengan nama yang khas Indonesia. Misal namanya Ling Ling Cun diwajibkan menganti dengan nama Surya Yosodiningrat atau nama-nama lain yang berbau Indonesia. Apabila dilanggar maka tak jarang mereka dipukul, ditendang, diejek, atau bahkan “dibunuh”.

Ketika Rezim Abdurahman Wahid atau biasa dipanggil dengan pangilan Gusdur. Masyarakat Tionghoa diberikan kebebebasan diangkat derajadnya sama dengan masyarakat Indonesia. Agama Konghucu dan Hari Raya Imlek diakui sebagai salah satu agama dan hari raya di Indonesia.

Berdasarkan pengamatan penulis terhadap masyarakat Tionghoa di Bengkulu menemukan bahwa, memang terkadang di masyarakat Bengkulu sendiri banyak stereotip yang menyebut bahwa hampir setiap masyarakat tionghoa kaya, kalau di suatu daerah di bengkulu entah itu di Bengkulu Selatan, Kaur, Seluma, Kota Bengkulu, Bengkulu Tengah, Bengkulu Utara, Muko-Muko, Kepahyang, Rejang Lebong, dan Lebong sudah ada yang namanya orang Tionghoa membangun sebuah niaga, hal ini menunjukan bahwa daerah di Bengkulu mempunyai potensi yang suatu saat masyarakat akan menyadari hal itu. Melalui proses belajar dari pengalaman, maka potensi tersebut akan berubah menjadi sumber pencaharian yang baru.

Memang ironis ketika masyarakat asli Bengkulu banyak menjual tanah baik itu tanah permukiman maupun tanah untuk lahan perkebunan kepada masyarakat Tionghoa, dalam peristiwa ini seharusnya mencerminkan kebutuhan. Mulai dari kebutuhan yang paling mendasar yang bisa memberikan pemahaman kepada masyarakat Bengkulu bahwa apabila kita bersungguh-sungguh terhadap suatu pekerjaan tertentu, maka pekerjaan tersebut akan mendatangkan sebuah dampak positif yang menguntungkan.

Sebagai contoh ketika masyarakat kebingungan membuka lahan perkebunan untuk menanam sawit karena terkendalah dana, maka peran pemerintah untuk menyalurkan bibit unggul, pupuk bersubsidi, serta pinjaman dengan bunga kecil sangat di harapkan. Setelah tanaman tumbuh, besar dan berbuah. Lahan perkebunan sawit ada dimana-mana ribuan hektar luasnya, maka para investor tidak perlu di undang mereka akan datang sendiri untuk mendirikan pabrik pengolaan buah sawit.

Sungguh berbeda ketika masyarakat asli Bengkulu menjual tanah kepada para investor termasuk masyarakat Tionghoa, maka dipastikan kesenangan sesaat yang akan di dapatkan, yakni ketika masyarakat tersebut menghitung uang hasil menjual tanah. Lalu kesenangan tersebut akan beruba ketika perkebunan sawit sudah besar pabrik sawit sudah berdiri. Masyarakat Bengkulu akan menjadi buruh dari tanah yang mereka jual dahulu. Ironis memang.

Dampak dari sebuah perubahan tatkala tidak instan di rasakan saat itu juga, seringkali sudah bisa di rasakan ketika berpuluh-puluh tahun kemudian. Mulailah dari diri sendiri, mulailah dari hal yang paling kecil, mulailah sekarang juga. Memulai usaha itu memang beresiko, tetapi tidak memulai usaha itu lebih beresiko.

Terlepas dari keberadaan masyarakat Tionghoa Bengkulu dengan masyarakat lain, seperti masyarakat Serawai, Melayu, Lembak, Rejang serta masyarakat lain yang tinggal di Bengkulu. Masing-masing masyarakat tersebut mempunyai sebuah sistem yang sudah mendarah daging sekaligus diakui sebagai sebuah sistem yang mereka anut. Sistem pernikahan masyarakat Tionghoa berbeda dengan sistem pernikahan masyarakat Serawai. Harapan penulis dengan bertemunya sistem-sistem yang berbeda ini tidak menimbulkan sebuah konflik, yakni munculnya dua atau lebih kebutuhan pada saat bersamaan. Kalaupun konflik tak dapat terhindar, mudah-mudahan adanya akomodasi berupa musyawarah guna mencapai mufakat. Sehingga konflik tersebut dapat di diskusikan sekaligus diselesaikan. Atau anda mempunyai pendapat lain, seperti apakah pendapat anda mengenai masalah ini?

2 komentar:

  1. halo saya ega, mahasiswi sejarah universitas negeri yogyakarta 2010
    saya tertarik dengan tulisan anda, karena saya sedang mengumpulkan bahan untuk skripsi saya.
    menarik memang, karena perkampungan cina di kota bengkulu tidak berkembang pesat seperti di kota-kota lain pada umumnya.
    saya berharap, kita bisa bertukar pikiran tentang kampung cina di kota bengkulu, trimakasih.

    BalasHapus
    Balasan
    1. hi Ega.. mksih sudh mampir.. trims ats komentarnya.. maaf jikalau balasan sy terlambat.. baru baca soalnya... gmn skripsinya sudh selesaikah? dengan senang hati loh.. sy bisa bertukar pikiran dgn anda..

      Hapus