Selasa, 07 Mei 2013

Tragedi Superga, Akhir dari Sebuah Generasi Emas

 
Torino saat ini (Getty Images/Mario Carlini)


Meski bukan yang tertua di dunia, kompetisi sepak bola Liga Italia tetap dianggap sebagai kompetisi klasik yang sudah berjalan sejak 1898 silam. Sebelum kompetisi dengan format Serie A bergulir yang dimulai pada1929, kompetisi sepak bola Italia menggunakan sistem turnamen regional.

Secara total, Juventus menjadi pengumpul gelar juara terbanyak kompetisi negeri ini. Gelar asli yang mereka miliki sebanyak 31 buah sebelum dua gelar dicopot setelah skandal calciopoli. Di bawah Juve, muncul AC Milan dan Inter Milan yang mengikuti dengan 18 gelar.

Selanjutnya, tercipta jarak yang cukup besar soal pengumpul terbanyak gelar juara liga karena di bawah trio tersebut baru muncul Genoa yang mengumpulkan sembilan gelar. Di bawah Genoa, terdapat tiga klub yang mengumpulkan tujuh gelar yaitu Torino, Bologna dan Pro Vercelli.

Baik Torino, Bologna maupun Pro Vercelli merajai Liga Italia di masa lampau. Sebelum Serie A bergulir, Genoa dan Pro Vercelli adalah tim terbaik. Namun setelah Serie A bergulir, Torino adalah tim fantastis yang mencuat dengan mengumpulkan lima gelar di periode 1940-an. Mereka merajai Serie A lima musim beruntun di masa itu berkat permainan gemilang yang diperagakan oleh tim yang dikenal dengan sebutan “Il Grande Torino”. 

Kegemilangan Il Grande Torino dimulai saat klub dibeli oleh Ferruccio Novo, industrialis lokal yang mengakuisisi tim ini tahun 1939. Di bawah kepemimpinan Novo, Torino disebut-sebut sebagai klub yang pertama kali memperkenalkan sistem pencarian bakat (talent scouting) di mana Novo mempekerjakan orang-orang yang memang kompeten di bidangnya. Sistem ini sekarang telah digunakan oleh hampir seluruh klub sepak bola profesional di dunia.

Usaha pencarian bakat yang sistematis tersebut sukses. Hasilnya, Torino mendapatkan pemain-pemain yang kelak menjadi legenda mereka seperti Franco Ossola, Ezio Loik, dan tentu saja Valentino Mazzola.

Il Grande Torino memperagakan permainan dengan taktik revolusioner 4-2-4. Taktik tersebut menurut para pengamat menjadi inspirasi bagi tim Brasil saat mereka menjuarai Piala Dunia 1958 dan juga tim nasional Belanda tahun 1970-an. 

Torino menunjuk Mazzola sebagai kapten tim. Mazzola sering dianggap sebagai salah satu gelandang terbaik yang pernah dilahirkan di Italia berkat tekniknya yang tinggi, fisik yang kuat serta karisma di ruang ganti. Penjaga gawang Valerio Bacigalupo adalah salah satu penjaga gawang yang pertama kali terlihat sering keluar dari sarang untuk menghalau serangan lawan. Mario Rigamonti dan Romeo Menti yang juga anggota tim ini bahkan diabadikan namanya menjadi stadion markas klub Brescia dan Vicenza.

Kehebatan mereka terbukti ketika pada periode tersebut tim nasional Italia beranggotakan sebagian besar pemain Torino. Bahkan dalam sebuah laga uji coba melawan Hungaria pada 1947, 10 dari 11 pemain starter tim Italia adalah pemain Torino. Sebuah pengakuan yang wajar mengingat dalam kurun waktu tahun 1943 hingga 1949, Torino selalu menjadi juara Serie A. 

Takdir memang datang tanpa bisa diduga. Kedigdayaan Il Grande Torino harus berakhir selama-lamanya oleh tragedi kecelakaan pesawat pada 4 Mei 1949, tepat 64 tahun yang lalu. Sekembalinya dari kota Lisbon, Portugal untuk melakoni pertandingan uji coba melawan Benfica, pesawat yang mengangkut skuat Torino beserta staf pelatih menabrak bukit Superga karena terbang terlalu rendah saat hendak mendarat.

Klub-klub peserta Liga Italia lainnya kemudian sepakat memberi gelar scudetto kepada Torino tahun itu sebagai bentuk penghormatan. Namun Torino menolak. Alih-alih menerima pemberian itu, Torino tetap memutuskan untuk menyelesaikan kompetisi yang tinggal tersisa empat laga lagi dengan pemain junior mereka. 

Klub-klub lainnya kemudian memutuskan untuk ikut menurunkan pemain-pemain junior sebagai bentuk solidaritas. Torino pada akhirnya memenangi seluruh empat laga sisa, dan memenangi scudetto di lapangan, bukan hasil pemberian.

Bagaimanapun, tragedi ini mengubah sejarah sepak bola Italia secara umum. 

Tragedi ini berimbas langsung pada tim nasional Italia. Mereka kehilangan pemain-pemain andalan yang memang selama ini disumbangkan oleh pemain Torino. Karena trauma, tim nasional Italia berangkat ke Brasil dengan kapal laut untuk mengikuti Piala Dunia 1950, dan mereka langsung tersingkir akibat kondisi fisik yang tidak memadai selepas perjalanan jauh.
Butuh waktu hingga satu dekade untuk mengembalikan kebesaran sepak bola negeri itu. Banyak pula pihak yang menganggap tragedi Superga memengaruhi peta kekuatan klub sepak bola di Eropa. European Cup, turnamen yang menjadi cikal bakal Liga Champions, dihelat pertama kali tahun 1955. Saat itu Real Madrid berjaya dengan pemain seperti Alfredo Di Stefano. 

Jika tim Il Grande Torino masih ada, banyak pihak menduga Real Madrid tidak akan mudah memenangi lima gelar turnamen secara beruntun dalam kurun waktu tahun 1956-1960 tersebut. Pendapat yang cukup masuk akal karena saat tragedi Superga terjadi, kebanyakan pemain Torino masih berusia di bawah 30 tahun. Takdir manusia memang tidak bisa ditebak.





Sumber:  http://id.olahraga.yahoo.com/blogs/arena/tragedi-superga--akhir-dari-sebuah-generasi-emas-093127372.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar